MAKNA KETULUSAN


(Oase Iman Buya Yahya)
www.buyayahya.org – www.buyayahya.net – www.albahjah.tv

Sahabatku, saat kita berbuat baik kepada tetangga atau tamu yang datang ke rumah kita. Ada makna kebaikan yang harus dicermati untuk bisa disebut sebagai ketulusan. Ketulusan sendiri adalah hal yang amat lembut bersembunyi di lubuk hati dan bukan kata terucap dengan lidah. Orang yang tidak beriman pun bisa berbuat baik kepada tetangga dengan memberi pertolongan, penghormatan atau santunan materi. Artinya berbuat baik kepada sesama itu hal yang lazim dilakukan, baik bagi yang beriman atau yang tidak beriman. Namun yang harus senantiasa kita cermati adalah hal yang akan menjadikan kebaikan itu bermakna, yaitu ketulusan. Perbuatan baik yang semata-mata kita lakukan hanya mengharap balasan dari Allah SWT.

Hati-hatilah ! Ternyata dalam ketulusan ada virus yang menghancurkan makna ketulusan, virus yang amat halus, sehalus ketulusan itu sendiri. Virus tersebut adalah riya’ atau maksud yang tersembunyi di balik sebuah kebaikan yang dilakukan selain karena Allah. Rasulullah SAW pernah menggambarkan virus tersebut seperti lembutnya langkah semut hitam yang berjalan di kegelapan malam di atas batu hitam dan kita mungkin tidak menyadari atau bahkan tidak merasakan kapan masuknya virus tersebut tiba-tiba sudah ada di dalam hati kita.

Sahabatku, saat kita berbuat baik kepada seseorang, namun terasa perbedaan di hati kita saat orang tersebut bersyukur kepada kita atau tidak bersyukur. Atau jika senyum orang yang kita santuni ada makna dihati kita, itu artinya ketulusan kita telah terjangkit virus riya’. Jika kita masih membedakan peminta-minta yang datang ke rumah kita, jika dengan segala kesopanan lalu kita beri, sementara yang lain datang dengan kurang sopan lalu tidak kita beri, itu artinya ada virus riya’ menjangkit ketulusan kita.

Sadarlah! dan sadarilah! Orang yang tidak tulus akan capek dengan kebaikannya. Begitu sebaliknya ketulusan akan menjadikan pelaku kebaikan dalam puncak kepuasan hati. Saat kita berbuat baik kepada tetangga hanya sebagai basa-basi sosial dan hanya mengharap balasan kebaikan dari tetangga baik berupa materi atau sekedar penjagaan rumah yang kebetulan berdampingan. Disaat kebaikan yang dinanti dari tetangga tidak kunjung didapat, maka rasa jengkel tersembunyi akan menguasai hati kita dan menghantarkan kita untuk menghitung-hitung kebaikan yang pernah kita lakukan. Atau jika ada seorang ustadz yang berceramah atau mengajar jika dibalik perjuangan ini yang diharapkan adalah imbalan baik materi atau sekedar sambutan penghormatan, maka sungguh akan terasa amat sangat lelah jika ternyata semua itu tidak didapat.

Berbeda dengan orang-orang yang tulus, mereka akan melakukan segala kebaikan dengan penuh kepuasan dan harapan ridho Allah SWT. Tidak merasa sakit jika tetangga yang diperlakukan baik tidak mengerti arti terimakasih, tidak merasa gundah disaat kebaikan mereka tidak dilihat dan dihargai oleh manusia. Sebab mereka hanya ingin kebaikannya dilihat oleh Allah SWT Yang Maha Melihat apa yang ada di hati hamba-hambaNYA. Wallahu a’lam bissawab.